Oleh Budi Siswanto
Salam _/\_ Rahayu
Tuhan dalam Pandangan Kawruh
Jendra Hayuningrat : Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu
juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran. Dalam
bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Kawruh Jendra
Hayuningrat biasa menyebut “Pangeran” artinya raja (Jendra), sama dengan
pengertian “Ida Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan
“Pangeran” dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata
“pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali
disebut “sweca”. Sedang wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu
mencapaiNYA dan kata-kata tak dapat menerangkanNYA.
Didefinisikan pun tidak
mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk dari pikiran sehingga tidak dapat
digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu Kawruh Jendra
Hayuningrat menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” (tak dapat disepertikan atau di
gambarkan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap
Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA.
Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya : Gusti Kang Karya
Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan),
Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk), Gusti Kang Maha Agung
(Tuhan Yang Maha Besar) dan lain-lain. Sistem pemberian banyak nama kepada
Tuhan sesuai perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda
Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak
nama”. Dalam Ajaran Islam kita mengenal dengan istilah Nama-nama besar Allah
atau Asma’ul Husnah.
Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.
Tentang hubungan Tuhan dengan
ciptaanNYA, Kawruh Jendra Hayuningrat menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan
ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai
“curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke
dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu
berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang
terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis Kawruh Jendra Hayuningrat mengajarkan:
Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni,
nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan
api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air
tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam
agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau
“sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air
keruh. Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang
kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’
adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan.
Menyatunya Tuhan dengan
ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya
kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti
katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus
transenden dalam filsafat kekristenan modern, yang dalam Bhagavad Gita
dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada pada-NYA”, atau seperti yang disaksikan dalam
Injil Yohanes 14:10 Yesus berkata, "...Aku di dalam Bapa dan Bapa didalam
Aku..." dan di dalam Yohanes 10:30 Yesus mengatakan, "Aku dan Bapa
adalah satu. Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya
pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini Kawruh Jendra
Hayuningrat mengatakan : “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya
jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah
bahwa pada hakekatnya, filsafat Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis.
Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga
dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian
Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang
juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat diJawakan
dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama
dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.
Pemahaman yang demikian itu tentunya
memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan
Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, Kawruh Jendra Hayuningrat dengan
bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya
begitu tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang
menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya Kawruh Jendra
Hayuningrat penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan
Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa
saja dan siapa saja, hingga seolah-olah apa saja dan siapa saja bisa
diTuhankan. Tidak!! Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman
dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah
sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh
para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam
bahasa Jawa “kaya geni lan urube”.
Upaya Mencari Tuhan Berdasar
pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka Kawruh Jendra
Hayuningrat-pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka
menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk
memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula,
digambarkan sebagai berikut : Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang
anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane
langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst.
Di sini jelas bahwa “sesuatu”
yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih
kangkung (inti batang kangkung), tapak kuntul nglayang (jejak burung terbang),
gigir panglu (tepianya dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang
merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan”
yang dalam bahasa Jawa “tan kena kinaya ngapa” yang penger-tiannya sama dengan
“Acintya” dalam ajaran Hindu. Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang
tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah
“kekosongan”, atau “kahanan suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi
tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah
“kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, atine banyu pun “kosong”, demikian pula
“tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”.
Jadi hakekat Tuhan adalah
“kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang
menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus
transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat
semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan.
Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi
sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya
menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya. Karena pada diri
kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka
hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian
apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya
nafsu dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu
dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian
adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu.
Logikanya, apabila hakekat
Tuhan adalah “kekosongan”, jika ingin menyatukan diri, maka diri kita pun harus
“kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang Maha Kosong”.
Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan
“menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu,
dosa, kekhilafan dan keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi
Atman agar tersambung dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara
yang harus ditempuh adalah melaksanakan “semedi kembul bujana”, yang intinya
adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan
yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan
diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”,
menghentikan segala aktifitas kerja, sesaat, sejenak, sedelok, sebentar saja.
Apabila “kekosongan”
merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk
“kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu
adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari Kawruh Jendra
Hayuningrat lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya dipulau Jawa tidak dilestarikan
untuk terus ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa
berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan semacam hal
itu (bangunan fisik sebagai simbol), karena masyarakat Jawa lebih mementingkan
“pemujaan leluhur”, yang dianggap sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Dhawuhe Wong
tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, ungkapan
ini adalah bukti adanya kepercayaan tersebut (leluhur minangka pengejawantahan
Gusti). Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi kalau simbol
kelamin atau “lingga yoni” banyak kita temukan. Baru setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali.
Konon sebagian sejarawan
berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental “Danghyang Dwijendra”,
seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan
Majapahit. Sebenarnya tujuan umat Hindhu ketika bersembahyang di pura, adalah
untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga”
secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama”
yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama
pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “men-tenang-kan diri” ketika
“memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai
tahta “Sang Hyang Widhi”. Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan
diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”.
Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai
sebenarnya.
Menurut sesepuh orang Jawa
dahulu, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus.
Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana
“heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa
damai yang akut”, yang dikatakan “manjing sajroning sepi”, atau “rasa damai
yang tak terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh Kawruh
Jendra Hayuningrat digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking
liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika
tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah
menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan
sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan
suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”.
Mungkin suasana demikian
itulah yang dalam agama Hindhu disebut “sukha tan pawali dukha”, yang artinya “Kebahagian
abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka”. Terbebas dari hukum ruwah bhinneda
(karma arwah cacat). Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam
proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Eyang
Wongsodjono yang adalah Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Eyang Wongsodjono
(sebagai Sang Atman) adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri
setiap manusia, karena itu oleh Kawruh Jendra Hayuningrat diberi sebutan
“Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. Karena itulah ketika kita
mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyanyikan seruan alam
yaitu “AOM” dalam Hidhu dinyanyikan “Om
Atma Tattvatma”. Aom dalam Kawruh Jendra Hayuningrat bisa dipakai sebagai kata ganti
dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun
sebelum Sang Atman duduk sebagai guru sejati kita atau tepatnya kita masih dalam
usaha (belajar / sinau) tentang penyatuan sadulur papat itu, maka hendaknya terlebih dulu
kita harus yakin bahwa Ia adalah Sang Energy yang sangat luar biasa.
Kehebatan energi Guru Bathin
atau Sang Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung
sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, artinya : Ia hanya
sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya
akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut
“geter”. Namun untuk memanfaat-kannya orang harus mengenalNya lebih jauh.
Lebih lanjut, ajaran ini
menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu
menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak
disebut “saudara / sadulur / kadang”. Masing-masing ditandai dengan simbol
warna putih, hijau, merah, dan hitam (catur sanak). Sadulur papat (catur sanak)
adalah saudara empat yang secara fisik merupakan unsur penyerta bayi ketika
berkembang dalam kandungan (Rahim sang ibu) hingga lahir / keluar dari
kandungan yaitu: darah, tali pusat, air ketuban dan ari-ari (plasenta).
Ketika manusia lahir ke
dunia, dipercaya bahwa keempat roh dari 4 saudara fisik inilah yang menjadi
pengikut setia dan senantiasa melindungi / mbaturi). Posisi mereka (ke empat
roh) di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Sang Atman, membuat cahayanya
membentuk warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar besar-kecilnya “karma wasana” seseorang.
Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu
diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan
menjadi pengganggu yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a
i dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu,
setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu. Pada dasarnya proses
penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara
Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun atau antara Brahman dengan
Atman, antara Yesus dan umatNya, antra Allah dan umatNya, yang dalam istilah
Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat
dengan Tuhan (caket=dekat).
Di sini jelas bahwa
pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, namun kenyataanya ada sebagian orang didunia
ini yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Guru Bathin atau Sang Atman,
Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafat yang mendasari pengajarannya
sedikit berbeda. Untuk itu oleh Guru lantaran leluhur kita, kepada mereka yang tidak mempercayai
adanya Guru Bathin atau Sang Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan “Ngamek
banyu pikulane warih, Ngamek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku
lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst”. Artinya terlihat ada orang mencari air,
padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal
telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan,
tanpa rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan
Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada
dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda-beda. Mereka tidak tahu
bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Guru
Bathin atau Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa
kaki, dan bicara tanpa suara maupun memberitahu tanpa rasa.
Pendapat bahwa Brahman sama
dengan Guru Bathin atau Sang Atman, oleh Kawruh Jendra Hayuningrat ditunjukkan
dengan perkataan “kana-kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”.
Ketidak-tahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan, memilah-milih agama.
Sebuah canda guyonan sederhana namun menyengat. Semua hal yang diterangkan di
atas adalah ajaran kawruh Jendra Hayuningrat. Namun bagi mereka, yang tidak mau
berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau berlajar mereka menganggapnya sebagai
“klenik atau animisme”.
Sejujurnya “agama Jawa” itu
memang tidak ada, kawruh Jendra Hayuningrat hanyalah sebuah pengkhabaran
kepada setiap umat manusia untuk menempatkan dirinya sebagai putra pangeran,
yang adalah pewaris tata surya, alam semesta, galaxi dsb. (bersambung).