“Yang di terima oleh seorang siswa
Jendra dari Purwokerto lewat seorang Kakek Pensiunan PNS menjelang Hari Raya
Idul Adha (ada hikmah didalamnya). Tulisan ini diambil dari sebuah email yang ditujukan pada admin (saya),
mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran untuk kita semua,,..terutama untuk saya
sendiri sebagai Guru Jendro.
Mas Budi
pengasuh PURI ASIH yth. :
Saya ingin
tanya, apakah yang saya alami merupakan sebuah dhawuh/petunjuk dari Guru Sejati?
Begini
cerita pengalaman saya :
Beberapa
hari yang lalu aku hendak mencari seekor kambing jantan untuk hari raya Qurban.
Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat
pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku
menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para
penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak
terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan
di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi
anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang
bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku
tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar
melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
” Berapa harga kambing yang itu pak?” ujarku menunjuk
kambing coklat tersebut.
” Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega
Super dua juta rupiah tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya
berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
” Tidak bisa turun pak?” kataku mencoba bernegosiasi.
” Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba
mahal” si pedagang bertahan.
” Satu juta lima ratus ribu ya?” aku melakukan
penawaran pertama
” Maaf pak, masih jauh. ” ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan
penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan
harganya.
” Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima
puluh ribu?” kataku
” Masih belum nutup pak ” ujarnya tetap cuek
” Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa
kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.
” Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi
dia gak bisa datang ke sini sendiri.
Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan
bakarnya bukan rumput” kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini.
Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi.
Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat.
Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual
kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah
mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget
ban yang harganya kini selangit.
” Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?”
kataku kemudian
” Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah” katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang
kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian
“korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.
” Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?”
katanya kagum
” Dua juta tidak kurang tidak lebih kek. ” kata si
pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.
” Weleh larang men regane (mahal benar harganya)?”
kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan ” bisa di tawar-kan ya mas?” lanjutnya mencoba
negosiasi juga.
” Cari kambing yang lain aja kek. ” si pedagang
terlihat semakin malas meladeni.
” Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah
Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)
Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas.
” katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya.
Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam belas
lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan
dari dalamnya.
” Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya)
di eter kewae nang umah yo-mas ( di antar ke rumah ya mas)?” lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang
memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang
menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar
demi lembar uang itu.
” Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah” si
pedagang mengeluarkan selembar lima puluh ribuan
” Ora ono ongkos kirime tho…?” (Enggak ada ongkos
kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
” Dua juta sudah termasuk ongkos kirim” si pedagang
yang cukup jujur memberikan lima puluh ribu ke kakek ” mau di antar ke mana
mbah?” (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah)
“Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di
tabung neh (bisa ditabung lagi)” kata si kakek sambil menerimanya ” tulung
anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu ya), sak
sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman, takon ae
umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti,
InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu). “
Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang
telah disepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang
disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil milikku. Perlahan
di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap dikayuhnya tetap dengan
semangat. Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya
berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai
Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang
terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang
diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar masjid
Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk
sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku
yang sanggup membeli rumah dikawasan cukup bergengsi, yang sanggup
membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor
kambing Mega Super, yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor
gede) dan memilikinya Yang sanggup mengkoleksi “raket” hanya untuk olah-raga
seminggu sekali, Yang sanggup juga membeli hewan Qurban dua ekor sapi
sekaligus. Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban
yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin
mobilku, kendaraanku di dunia fana.
Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku
berpikir seribu kali saat membelinya. Ya Allah, Engkau yang Maha
Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur
ini ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu.
Mas Budi Pengasuh Puri-Asih yang terhormat, apakah Hidaya yang saya terima ini merupakan Dhawuh? atau hanya sekedar kebetulan saja....Mohon petunjuk mas, matur nuwun...Salam Kejawen _()_ Rahayu!
From : someone in Purwokerto