Bag (1). MEMAHAMI FILOSOFI LELUHUR JAWA
Leluhur masyarakat Jawa melalui Kaweruh Jendra
Hayuningrat dalam pengajaran-nya memiliki ber-aneka filosofi, Apabila kita
cermati memiliki makna yang begitu dalam. Tetapi, anehnya filosofi yang
diberikan oleh para leluhur itu, pada saat ini dinilai sebagai hal yang kuno,
kolot dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus
sepanjang hidup. Dibawah ini ada beberapa contoh filosofi dari para leluhur / nenek
moyang masyarakat Jawa.
“Dadio
banyu, ojo dadi watu” (Jadilah air, jangan jadi batu).
Kata-kata singkat yang
penuh makna. Kelihatannya jika ditela’ah memang manungsa kang nduweni
manunggaling rasa itu harus tahu bagaimana caranya untuk “dadi banyu”.
Mengapa kita yang adalah manusia ini harus bisa
menjadi banyu (air)? Karena air itu bersifat menyejukkan. Ia menjadi jawab atas
kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang diciptakan GUSTI ALLAH pasti
membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang tidak keras. Artinya, dengan
bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika sampai di kulit kita.
Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang
keras. Batu pun juga dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun apapun.
Pertanyaannya, lebih utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah
air atau batu?
Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu
lebih kuat. Tetapi bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka
ia akan menyatakan lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu?
Jawabannya sederhana saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi
anda bisa memecah batu dengan palu.
Artinya, meski terlihat lemah, namun air memiliki
kekuatan yang dahsyat. Tetes demi tetes air yang jatuh dari ketinggian, akan
mampu menghancurkan batu. Dari filosofi tersebut, kita bisa belajar bahwa hidup
dalam dunia ini, kita seharusnya lebih mengedepankan sifat lemah lembut
bagaikan air. Dunia ini penuh dengan permasalahan. Selesaikanlah segala
permasalahan itu dengan meniru kelembutan si air. Janganlah meniru kekerasan si
batu. Kalau Anda meniru kerasnya batu dalam menyelesaikan setiap permasalahan
di dunia ini, maka masalah tersebut tentu akan menimbulkan permasalahan baru.
“Sopo
Sing Temen Bakal Tinemu”
Filosofi lainnya adalah kata-kata “Sopo sing temen,
bakal tinemu” (Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang
dicari). Tampaknya filosofi tersebut sangat jelas. Kalau Anda berniat untuk
mencari ilmu kasunyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan
sungguh-sungguh, maka Anda akan menemukannya.
Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah,
maka jangan kecewa jika nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari.
Filosofi di atas tentu saja masih sangat relevan dan berlaku hingga saat ini.
“Sopo sing kelangan bakal diparingi, ananging sopo
sing nyolong bakal kelangan”
(Siapa yang kehilangan bakal diberi, akan tetapi siapa yang mencuri bakal kehilangan).
(Siapa yang kehilangan bakal diberi, akan tetapi siapa yang mencuri bakal kehilangan).
Filosofi itupun juga memiliki kesan yang sangat
dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan agar
kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal kehilangan
sesuatu (bukannya malah untung).
Contohnya, ada orang yang dicopet. Ia akan
kehilangan uang yang dimilikinya di dalam dompetnya. Tetapi GUSTI ALLAH akan
menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan tersebut.
Tetapi bagi orang yang mencopet dompet tersebut, sebenarnya ia untung karena
mendapat dompet itu. Namun, ia bakal dibuat kehilangan oleh GUSTI ALLAH, entah
dalam bentuk apapun.
Dari filosofi tersebut, Nenek moyang kita sudah
memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang keadilan GUSTI ALLAH itu.
GUSTI ALLAH itu adalah hakim yang adil.