Kraton (Yogya) sebagai Pancering Urip Umat Manusia


Konsultasi Spiritual : Klik disini

(Dhawuh Eyang Wongsojono, oleh : Budi Siswanto)

Di mata orang Jawa, Kraton itu kramat. Kawula ajrih kuwalat jika berbuat semaunya di lingkungan Kraton. Kawula selalu berasumsi bahwa raja itu memiliki kuluk kanigara, yaitu makutha yang esensinya memuat kewibawaan. Makutha menyimpan hal-hal yang ”the seen” dan ”unseen worlds”. Yang kasatmata, makutha itu benda berharga. Yang ada di balik barang itu, adalah lambang kesaktian, kekuasaan, sebagai warisan pusaka Kiai Jaka Piturun. Maka ketika dipimpin raja, kawula rumangsa adhem ayem, tentrem lan tenang.
Kraton adalah pusat rasa Jawa. Rasa hakiki yang hidup di dataran nalar Jawa adalah rasa njaba dan rasa njero. Kedua rasa ini menep (merasuk) dalam candrasengkala memet regol kemagangan yang berbunyi: Dwi Naga Rasa Tunggal (1682). Dwi Naga Rasa Tunggal artinya dua naga yang tubuhnya (sarira) dipadukan hingga muncul ungkapan mistik manunggaling kawula-Gusti.
Dalam konteks manunggal ini, ditunjukkan oleh ungkapan sarira tunggal atau sari-rasa-tunggal. Maksudnya, kawula-Gusti itu hakikatnya satu rasa (madu rasa). Keinginan kawula untuk selalu manunggal dengan Gusti disebut madu brangta.
Tribuwana
Sebelum berdiri Kraton, yang ada hanyalah berupa hutan belantara. Hutan itu bernama Garjitawati. Garjita artinya kesadaran total manusia. Kesadaran itu melahirkan pemikiran jernih dan wening. Wati artinya kaya, banyak, luas, dan Garjitawati adalah hutan yang menyimbolkan kesadaran kuat. Maka Sri Sultan HB I memandang tepat Kraton Yogya berdiri di atas bumi harum itu. Dari sini kesadaran kosmis muncul di benak kawula-Gusti Yogya, karena tata letak simbolik imajiner Kraton.
Kosmologi Kraton Yogya tidak terlepas dari pandangan dunia Kejawen. Masyarakat kejawen berpikir tentang kosmologi Jawa melalui pepangkataning dumadi yang disebut Tribuwana, terdiri atas Guru loka (baitul makmur), Endra loka (baitul muharam), dan Jana Loka (baitul muqadas). Guru loka dalam posisi Kraton diwakili oleh Gunung Merapi. Gunung berada diutara (lor, utama), luhur. Posisi tengah yaitu Endra loka. Endra artinya raja. Raja kehidupan tidak lain hati (rasa sejati). Adapun Jana loka adalah gambaran kawula, rendah, dan bawah. Ketiga ranah filosofi-kosmis ini yang memposisikan Kraton sebagai sentral.
Pemikiran kosmologi Jawa demikian berkembang lagi, dari posisi Tribuwana menjadi Pancabuwana. Konsep Pancabuwana tetap meletakkan Kraton sebagai pusat. Pancabuwana memuat keblat papat lima pancer. Artinya, bahwa buwana manusia selalu dilingkupi oleh empat anasir dan Kraton sebagai sentral (pancer) kehidupan. Kraton Yogyakarta secara kosmis diapit oleh empat anasir kiblat, yaitu Kampung Gandamanan (Timur), Kampung Krapyak (selatan), Barat (Kampung Wirabrajan), Utara (Kampung Jetis). Makna filosofi Kampung Gandamanan ini jika ditarik ke utara lurus, simetris dengan Kampung Gandalayu (timur Tugu). Adapun Kampung Wirabrajan jika ditarik lurus ke utara muncul Kampung Pingit, sebelah barat Tugu. Jadi garis imajiner Kraton ke Tugu menandai bahwa Kraton itu diapit oleh dua nama kampung yang melambangkan hidup (Pingit, berarti suci) dan mati `jg(Gandalayu, artinya bau bangkai). Hal ini ditandai pula, bahwa Kampung Pingit itu dialiri sungai Winanga dan Kampung Gandalayu dialiri Sungai Code. Winanga, berasal dari bahasa Jawa winong, artinya paham, ketahuilah, dekatkanlah dengan Hyang Winong yaitu Tuhan. Sebaliknya, jauhilah yang jelek, berbau bangkai, yang dilambangkan Sungai Code (dalam bahasa Jawa, cocode, kejelekan).
Jika posisi Pancabuwana tersebut dilukiskan, akan tampak bahwa Kraton adalah sumber kasekten. Sakti berarti hangabehi, di dalamnya muncul Dzating Pangeran melalui sebuah proses emanasi. Kosmologi keblat papat lima pancer, Kraton tergambar sebagai kuthagara berada pada posisi tengah, isinya suwung (titik nol), menjadi fakta hakiki (ultimate reality), hari pasarannya Kliwon, multiwarna, dan dewanya Manikmaya (bathara Guru). Sebelah timur dibatasi oleh negaragung, sebagai fakta emanen, sebagai purwaning dumadi (jagad kawitan). Makanya kalau semadi orang Jawa selalu berusaha menghadap ke timur, pasarannya Legi, dibatasi negaragung brang wetan, warnanya putih, disimbolkan anasir air, dewanya Wisnu. Sebelah selatan adalah fakta eksistensial, berwarna merah, pasaran Paing, dibatasi Laut Selatan, dan dewanya Kala. Sebelah barat pasarannya Pon, dibatasi negaragung brang kulon, berwarna kuning, sebagai fakta transenden, dewinya Sri. Sebelah utara hari pasarannya Wage, warnanya hitam, dibatasi Gunung Merapi, dewanya Narada, sebagai fakta esensial.
Kosmologi Kraton demikian terkait dengan sebutan ning-rat. Ning artinya jernih dan rat (dunia, kosmos). Kejernihan berpikir tentang dunia (kosmos) oleh kesakralan Kraton. Di mata orang Jawa Kraton tetap sebagai mandala yang gawat keliwat-liwat wingit kepati-pati. Maka dalam Serat Baron Sekender, dikisahkan ada pesawat kolonial yang hendak menyerang Kraton Yogya, tiba-tiba jatuh ketika berada di atas Kraton. Nuansa kosmis itu yang menyebabkan Kraton itu berbeda dengan tempat lain. Kraton itu seperti istana, tetapi perlu di ingat bahwa istana bukan-lah Kraton.
Dari waktu ke waktu, umumnya orang Jawa memandang Kraton selalu menyebarkan ruh kosmis, yaitu: (1) memberi perlindungan (hangayomi), (2) memberi rasa aman, tenang, dan tenteram (hangayemi), (3) memberi berkah berbagai hal (hamberkahi). Ketiganya tergambar pada watak raja yang mahambeg paramarta. Artinya, raja selalu menyebarkan watak keutamaan kepada kawula. Kawula memandang sultan sebagai figur yang mampu amangku-amengku-among-momot. Amangku, artinya bisa menciptakan suasana jenak, tenang, adhem ayem, memahami aspirasi bawahan secara total sebagaimana seorang ibu memangku anaknya. Amengku, berarti mampu menjalankan kekuasaan yang tidak semena-mena, penuh kecintaan, perlindungan, penuh perhatian, seperti halnya sayap ayam melindungi anaknya. Among-momot, artinya mampu memimpin dengan kultur kejawaan yang penuh asah-asih-asuh, mewadahi segala keinginan kawula. Ketiga hal itu terangkum dalam ungkapan mahambeg berbudi bawa leksana.
Melalui Perjanjian Giyanti yang dis-skenario kolonialis, 13 Februari 1755 hingga membelah Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Yogya dan Kasunan Surakarta, terkesan agak aneh. Sunan seakan representasi ulama dan sultan gambaran umaro, padahal kedua belah pihak jelas memuat ulama-umaro. Teologi dan teosofi Kraton Yogya selalu merujuk bahwa Kraton adalah sentral kosmis-filosofis. Kraton Yogya, tidak sekadar memimpin kawula secara lahir, melainkan juga dengan konsepsi filosofi kejawen yang luhur. Sultan yang bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah, diakui maupun tidak, jelas melukiskan sebuah paugeraning dumadi. Sultan dianggap figur waskitha atau nawung kridha, yang menjadi pandom (kiblat) kawula.
Atas dasar itu, Kraton sekaligus juga sebagai pusat (telenging dumadi). Maka kedudukan sultan menjadi abon-aboning panembah jati. Maksudnya, Kraton menjadi sentral kawula dalam melakukan persembahan. Hakikatnya kawula adalah menyembah Hyang Widhi, sebab sultan diobsesikan sebagai wakil (badal wakiling) Tuhan. Itulah sebabnya kawula selalu melakukan tindakan “saiyeg saeka praya sebaya pati sebaya mukti.” Demi tegaknya Kraton, kawula rela, ikhlas berkorban secara serentak, rukun, sampai titik darah yang penghabisan. Alasannya, jika Kraton menemui kejayaan kawula juga akan menerima kemurahan (luberan) berkah saking raja.
Atas dasar itu pula Puri Asih ngemban sampur, karena sebuah keprihatinan yang panjang atas hilangnya generasi-generasi muda calon-calon Punggawa Kraton akibat moderenisasi yang melanda bangsa ini. Bukan berarti tidak boleh menerima hal-hal yang berbau modern, akan tetapi diperlukan filter kuat yang bisa menyaring masuknya budaya-budaya barat yang sangat mencemaskan para kaum sepuh dan pinisepuh.
Dengan hilangnya generasi muda calon-calon punggawa Kraton, berarti Kraton akan kehilangan banyak kesatria (tentara) pejuang-pejuang etika dan norma-norma Jawa. Hal ini akan berakibat hilangnya etika serta norma-norma Jawa yang menjadi filosofi dan standart budi pekerti suatu bangsa. Semoga Puri Asih yang adalah rintisan bangkitnya kembali Ngayogjakarta, mampu menemukan punggawa-punggawa-Nya yang telah hilang dan mengatur kembali barisan yang sudah porak-poranda akibat moderenisasi, guna menuju Puri Sepuh sebagai bentuk kesiapan rohani dalam menghadapi sekaratul maut yang merupakan gerbang menuju kota baru yaitu Ngayogjakarata yang ke dua.

_()_
Rahayu!

Konsultasi Spiritual : Klik disini

Relakan Hal-Hal Lama


Oleh Budi Siswanto
Ada salah seorang siswa Jendra melamar menjadi pekerja tambang, setiap malam, ia selalu mengunakan bantuan penerangan senter. Suatu hari Siswa Jendra itu, membeli dua buah baterai. Karena ingin hemat, ia menyisakan baterai yang masih ada sedikit penerangan, berarti hanya memakai satu buah saja baterai yang baru. Namun belum lewat satu malam, cahaya senternya sudah berubah menjadi kuning dan redup, ia pun mengantikannya lagi dengan baterai baru sisanya yang belum terpasang. Beberapa hari kemudian, baterainya sudah ngerop juga.

Dengan marah Siswa Jendra tersebut melempar ke empat baterai bekasnya ke dalam tong sampah sambil menggerutu : "Dasar barang tiruan, belum satu malam sudah ngedrop !" tak jauh dari tempat siswa Jendra itu berada, ada seseorang yang sedang bersemedi, ternyata orang itu adalah gurunya sendiri. Rupa-rupanya sang guru yang berada tak jauh dari tempat kejadian, mendengar saat siswanya menggerutu.

Lalu dengan sabar sang guru menjelaskan : "Belum tentu baterai baru itu tiruan, kemungkinanya, karena kamu tidak menggantikanya semua baterai suwak itu sekaligus”. Siswa Jendra itu terperanjat mendengar ucapan gurunya, seolah-olah sang guru tahu (waskita) kalau siswa jendra itu hanya mengganti baterai satu-persatu. Sambil terheran-heran, siswa Jendra itu bertanya pada  gurunya “ lalu guru, apa hubunganya baterai cepat sowak ini dengan saya menggantikannya satu-persatu?”, lanjut siswa Jendra itu “ ngomong-ngomong... memang benar sih..., saya hanya mengganti satu baterai dalam senter itu...guru pasti tahu, khan guru waskita?”

Dengan wajah teduh dan sambil tersenyum, guru Jendra itu menjawab” Angger...tidak perlu menggunakan kawaskitan, cepat suwaknya baterai itu, lebih disebabkan oleh baterai lama yang tidak dibuang itu telah berubah menjadi resistor atau tahanan listrik." Lalu, Siswa Jendra itu nampak agak bingung karena tidak mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya.

Perhatian : Sesungguhnya, baterai yang telah kehabisan energi listriknya, jika dirangkaikan (seri) dengan baterai baru yang energi listriknya masih penuh, malah akan berubah dirinya menjadi tahanan listrik yang menghambat aliran energi listrik dari baterai yang baru baru.

Hikmah Jendra yang bisa diperoleh : Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering merasa sayang dan tidak mau membuang kenangan-kenangan lama atau karena suatu pertimbangan untung-rugi tidak sudi merelakan suatu keuntungan kecil, akibatnya malah kehilangan keuntungan yang jauh lebih besar, bahkan salah langkah dalam menyikapi kehidupan. Tidak jarang hanya dikarenakan tidak rela, seseorang telah berubah menjadi pemhambat (resistor) bagi dirinya sendiri maupun orang lainnya. Sugeng Warsa Enggal Sasi Suro 1947 thn Saka

Salam _()_ Rahayu

Perayaan 1 Suro di Puri Asih dalam Foto


Ritual Junjung Derajad




(Prosesi Memutus Arwah Cacat dalam Keluarga)
Oleh Budi Siswanto

Pengantar
            Dalam Kaweruh Jendra Hayuningrat kita dituntun untuk mengenal adanya arwah cacad dalam diri kita. Bukan sekedar mengenal ataupun mengenali bahwa dalam diri pribadi kita telah bersemayam arwah cacat. Akan tetapi Kaweruh Jendra Hayuningrat juga mengajarkan tata cara atau prosesi pemutusan hubungan seseorang dengan arwah cacat tersebut.
Riwayat
            Setiap insan didunia ini memiliki hak yang sama dalam mengarungi bahtera kehidupannan, baik secara pribadi (sendiri-sendiri) ataupun berkelompok. Misalkan layak untuk memiliki tempat tinggal yang layak, memiliki hak untuk hidup damai, berkeluarga dan menjalankan semua keinginan-keinginannya selama tidak bertentangan dengan kehendak alam semesta ini.
            Ditengah-tengah carut marutnya kehidupan, kita lupa bahwa kita tidak hidup sendiri dalam dunia ini. Kita selalu berfikir bahwa kehendak kita semuanya harus terjadi, walaupun kehendak itu melawan kodrat alam. Hal inilah yang menghalang-halangi seseorang untuk kembali ke alam kelanggengan, serta mendapatkan kenikmatan sorgawi atau nirwana disana.
            Tak satupun agama samawi mengajarkan tentang reingkarnasi atau terlahir kembali kedunia ini, namun semua agama di dunia ini mengajarkan kepada semua umatnya untuk menahan diri, bersabar dan ihklas. Agar perjalanannya kelak saat mengalami sekaratul-maut dan pindah tepat menuju ke Alam Ketuhanan, tidak mengalami hambatan alias lancar-lancar saja.
            Berbicara tentang mulusnya perjalanan hidup seeorang didunia ini. Tak seorangpun yang tahu tentang catatan-catatan Tuhan terhadap pribadi orang tersebut, walaupun kita semua tahu bahwa setiap orang yang hidup didunia ini pasti memiliki catatan selama menjalani kehidupan ini, baik yang menduka-kan maupun yang men-suka-kan.
Bertolak dari tidak adanya catatan Tuhan itu, maka ada beberapa insan manusia yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah melakukan perbuatan-perbuatan yang telah merugikan orang lain bahkan melanggar norma-norma susila. Hal ini berdampak pada anak-cucu yang ditinggalkan, baik yang disadari ataupun tidak. Sehingga ada beberapa orang menyebutnya sebagai karma atau balasan atas semua musibah, kesialan atau ketidak-beruntungan seseorang dalam hidupnya, itu semua merupakan balasan atas apapun yang telah kakek buyutnya perbuat dimasa silam.
Belajar melalui Arwah Suci guru-guru Kaweruh Jendra Hayuningrat, semua siswa Jendra diajarkan bagaimana cara menanggulangi masalah atau peristiwa hidup yang bersifat merugikan hidup seseorang, baik secara rohani maupun secara jasmani. Misalkan sudah lama berumah-tangga namun belum memiliki pekerjaan ataupun penghasilan tetap bahkan masih menganggur, belum memiliki rumah sendiri, belum diberi seorang putra/putri, sudah cukup umur namun belum juga menikah. Ada seseorang yang sudah uzur usianya, namun masih terus memikirkan nasib putra-putrinya yang tak kunjung lepas dari pangkuan orang tuanya walaupun sudah berumah-tangga.  dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainya.
            Hal tersebut diatas bisa terjadi dalam hidup seseorang, bukan karena kurangnya pendidikan formal, juga bukan karena kurangnya modal hidup yang telah disiapkan oleh orang-tua atau leluhurnya. Namun, semuanya itu terjadi karena sangat dipengaruhi oleh daya spiritual leluhur-leluhurnya. Sekaligus tidak menutup kemungkinan, apapun yang telah kita perbuat dimasa silam, akan menjadi daya spiritual dimasa yang akan datang, yang keberadaanya sangat mempengaruhi hidup seseorang tersebut.
Dasar Pelaksanaan Junjung Derajad
            Kaweruh Jendra Hayuningrat mengajarkan, tidak sedikit Arwah leluhur yang terjebak didalam jiwa anak-cucunya, kemudian keberadaannya ikut mengendalikan bahkan ada beberapa yang telah mengambil-alih jalan hidup anak-cucunya. Sehingga melalui peristiawa ini, kita akan melihat seolah-olah leluhur itu telah bangkit dan hidup kembali didalam diri si anak-cucunya tersebut.
Contoh peristiwa : Apabila ada seseorang yang melakukan tindakan bunuh-diri, hal ini bisa diteliti memalui riwayat keluarga maupun leluhurnya. Bisa dipastikan salah seorang leluhur baik dari jalur bapaknya atau jalur ibunya tentu ada yang meninggal dengan cara bunuh-diri. Jika tidak demikian maka, sudah menjadi sebuah kepastian bahwa : dalam keluarga ini akan terlahir seorang calon jabang bayi, yang memiliki ciri-ciri adanya arwah cacat.
Demikian pula halnya dengan perceraian dalam rumah-tangga, hidup melanggar susila, derajad, pangkat, perjodohan, penyakit maupun cara meninggal seseorang. Semuanya dipengaruhi oleh arwah leluhur dan kelak dikemudian hari, akan memberikan pengaruh kepada anak-cucunya sendiri.
Pelaksanaan Junjung Derajad
Merupakan salah satu prosesi ritual dari sekian banyak prosesi ritual yang merupakan ajaran peninggalan leluhur yang dilestarikan melalui pengajaran Kaweruh Jendra Hayuningrat. Junjung Derajad tak ubahnya sama dengan Ritual Penyempurnaan Arwah, yang dapat membantu seseorang, terutama mereka yang mengalami hambatan dalam mencapai ke-hidupan makmurnya.
Melalui ritual Junjung Derajad, arwah cacat yang selama ini telah mengendalikan hidup seseorang, akan dilepaskan oleh sebuah ritual dari kemelekatannya atau kecintaanya terhadap dunia ini. Karena tanpa disadari oleh leluhur tersebut bahwa, keberadaanya di dunia ini telah menyulitkan dan bahkan meresahkan anak-cucunya dalam mengarungi bahtera kehidupan-nya.
Keuntungan dalam mengikuti Ritual Junjung Derajad
Seseorang yang sudah menjalani ritual Junjung Derajad, ibarat sebuah hutang sudah tidak memiliki tanggungan lagi. Karena leluhur yang selama ini diyakini masih tinggal dan diam bersama-sama kita, tidak akan pernah menganggu lagi dan bahkan keberadaanya sudah disempurnakan sekaligus arwahnya sudah dihantarkan oleh sebuah ilmu Penyempurna Arwa untuk menghadap ke-Hadirat-Nya.
Penutup
Demikianlah petikan pengajaran Kaweruh Jendra Hayuningrat tentang Penyempurna Arwah atau Penyempurnah Suksma. Berawal dari sebuah peristiwa hidup yang tidak lazim telah terjadi dalam kehidupan seseorang, maka Kaweruh Jendra Hayuningrat menggelar ritual Penyempurnah Arwa cacat, guna menjunjung dan meninggikan derajad seseorang yang telah dinistakan oleh leluhurnya untuk disempurnakan keberadaannya.

Salam_()_ Rahayu