FALSAFAH YAYASAN PURI ASIH MUSTIKA JAWA

 I. Pendahuluan
Ketika menyadari bahwa pada tanggal 19 - 20 Agustus 2017 merupakan hari pertama Kawruh Jendra Hayuningrat mengadakan sarasehan Budaya, terhitung sejak Kawruh Jendra Hayuningrat terdaftar dalam buku besar HPK beberapa tahun silam dengan nomer register : No : 1.027/F.6/F.2/1980. Selang beberapa tahun kemudian sang pendirinya tinimbalan ing kasedan jati yaitu : Eyang Djabin Dwidjo, sampai hari ini tak seorangpun berkenan memprakarsahi pertemuan besar keluarga Penghayat Kawruh Jendra Hayuningrat terkait dengan kajian dan realita Kawruh Jendra Hayuningrat dalam perkembangannya hingga saat ini.

Saat pertama kali saya menerima telepon dari seseorang yang saat ini saya kenal dengan panggila bapak Endri Wawan saya baru sadar, bahwa saya sebenarnya tidak seorang diri dalam ngugemi atau menjalankan Kawruh Jendra Hayuningrat ini. Ternyata masih ada orang lain yang nunggal kawruh dimuka bumi ini, yang juga sedang melakukan pencarian “balung pisah”.

Sejak kopdar (jumpa darat) dengan bapak Endri Wawan di wilayah Tumpang Malang Jawa Timur, maka sepulangnya kopdar ada janji dalam hati saya untuk memperingati kopdar saya dengan saudara-saudara nunggil kawruh, yaitu dengan ‘mbabar’ Kawruh Jendra Hayuningrat secara ringkas agar kiranya bisa dipahami dan bermanfaat bagi para simpatisan, keluarga dan semua siswa Jendra yang tersebar seluruh dunia. Wacana pemikiran ini dari ranah ‘panggraita pribadi’ dan ‘spiritual forecasting’ (penerawangan batin, istilah alm. Prof. Budyapradipta – UI). Karena itu tulisan tentang wacana pemikiran saya perlu pengkajian ulang dan penelisikan secara logic rasional lebih lanjut.

Tulisan tentang ‘panggraita’ saya ini berpijak kepada Dhawuh Guru Bathin Eyang Wongsodjono dan menelusur “jejak peradaban Jawa” lewat tulisan-tulisan para peneliti yang berbasis spiritual yang masih ada dan berlaku sampai saat ini, namum tidak atau belum perna ada penelitian ilmiah akademik. Kalau toh ada, penelitianya selalu dalam nuansa “kooptasi budaya/peradaban asing dan bermuara pada kesimpulan budaya/peradaban Jawa sebagai “turunan” (derivate) budaya dan peradaban Hindu maupun Islam. Dengan kata lain, seolah-olah Jawa tidak pernah berbudaya sebelum tersebari budaya/peradaban India (melalui sebaran agama Hindu/Budha) dan budaya/peradaban Arab/Ngatas Angin (melalui sebaran agama Islam-nya).

Anggapan kebanyakan peneliti tentang apapun soal Jawa dan ke-Jawa-an yang demikian terasa “menyakitkan”, mengingat adanya temuan unsur-unsur budaya/peradaban Jawa yang bertingkat tinggi yang diabaikan dan tidak pernah “digarap” karena dianggap tidak perna ada. Dengan kemampuan seadanya saya menekuni wilayah kebatinan untuk menggali jatidiri saya yang Jawa. Ketemunya adalah melalui kawruh Jendra Hayuningrat dengan falsafah Nyawiji-nya sebagai dasar budaya dan peradaban masyarakat Jawa. Adapun unsur-unsur budaya/peradaban asli Jawa dimaksud adalah: 


– Sistim Religi Kawruh Jendra Hayuningrat yang khas Jawa : “Sesembahan (Gusti/Tuhan) tan kena kinayangapa, ananging anglingkupi lan murbawisesa jagad dalah saisine kabeh” yang diikuti dengan konsep Nyawiji, yaitu : Manunggaling Kawula Gusti.

– Konsep Kawruh Jendra Hayuningrat tentang piwulang “Sedulur Papat Kalima Pancer” sebagai konsep Nyawiji struktur roh yang tidak perna ada dalam ajaran agama apapun/manapun.

– Konsep penanggalan kawruh Jendra Hayuningrat “Nyawiji” yang mengandung “petung (analisis) tentang keadaan “alam semesta sebagai dasar penentuan “ala lan ayuning dina” liniwat penyawijian neptu pekenan, dino, wuku, pranoto mongso dll.

– Konsep pranata sosial dan Konsep pemerintahan yang “Nyawiji yang berbasis budaya/peradaban “Agraris Pertanian Sawah/Padi”. Dalam pemerintahan berupa sistim “kabuyutan” yang merdeka berdaulat namun saling mengikatkan diri dalam “Nyawiji” guna menggapai kesejahteraan bersama dan perdamaian antar komunitas. Jejak yang masih ada sampai saat ini berupa penggiliran keramaian pasar berdasar hari pasaran (Pasar Kliwon, pasar Legi, Paing, Pon, Wage).

Ketika mencoba menelusuri seluk beluk hal-hal tersebut di atas, saya ketemukan suatu kenyataan bahwa semuanya didasarkan kepada suatu Konsep atau Falsafah “Nyawiji” sebagai “turunan” sistim/konsep yang membangun “alam semesta”. Antar semua unsur di alam semesta saling berhubungan secara “kosmis magis sebagaimana “hubungan antar jaringan sel dalam membangun tubuh manusia hidup. Hubungan “kosmis magis tersebut dipurbawasesa Kang Murbeng Dumadi sebagaimana hubungan antar sel dalam jaringan tubuh manusia dipurbawasesa oleh “Rah atau Ruh” atau “Sang Urip”.


II. Konsep Religi Yang Nyawiji
Bermacam-macam penyampaian atau pernyataan para ahli, bahwa Kejawen merupakan sinkretisme : Hindu-Islam-Kepercayaan Jawa. Demikian pula agama Syiwa-Budha di jaman Majapahit dikatakan sebagai sinkretisme agama Hindu Syiwa dan Budha. Wacana seperti itu yang (barangkali?) membuat para ahli sejarah menyatakan bahwa “Jawa mulai mengenal budaya dan Sejarah sejak masuknya budaya dan peradaban yang berasal dari India. Sehingga masa-masa sebelumnya, dinyatakan sebagai “jaman prasejarah” dengan konsep kepercayaan animisme.

Menurut mereka para ahli sejarah bahwa, tanda-tanda adanya kepercayaan animisme, disebutkan dibangunya tempat persembahan/altar kepada arwah leluhur, dengan “bangunan berundak atau bertangga”. Keadaan temuan yang demikian menjadikan lahirnya pendapat umum bahwa Jawa belum ber-Tuhan atau tidak mengenal Tuhan sebelum masuknya agama-agama dari Asia Daratan. Pandangan yang demikian yang mengganggu pikiran saya sebagai orang yang terkodratkan sebagai ‘wong Jawa’. Karena itu, saya memasuki wilayah “penekunan kebatinan Jawa melalui kawruh Jendra Hayuningrat untuk mencari jawab terhadap pendapat tentang “Jawa tidak mengenal Tuhan sebelum menerima siar agama-agama dari Asia Daratan”.

Pada petualangan dan penjelajahan di ranah penekunan kebatinan ini, saya bertemu dengan konsep falsafah ‘Nyawiji’ dalam piwulang kawruh Jendra Hayuningrat. Kalimat penting dalam piwulang itu adalah “Manunggaling Kawula Gusti”. Sungguh mengejutkan bahwa pada konsep ini ternyata kawruh Jendra Hayuningrat paring piwulang atau mengajarkan pada para siswanya adanya “kesatuan antara “Dzat Tuhan dengan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia. Makna pengertian singkatnya, ada ‘Dzat Tuhan’ (sebagai Gusti) pada diri manusia (sebagai Kawula). Dengan dasar pengertian awal yang demikian, maka saya pahami bahwa maksud “Manunggaling Kawula Gusti” adalah upaya manusia mengoperasionalkan “kesadaran sebagai “kawula” dalam berkontribusi ikut “menyangga/menopang” alam semesta. Dalam piwulang kawruh Jendra Hayuningrat disebut “melu memayu hayuning bawana”.

Sedemikian rupa pengenalan saya terhadap konsep Nyawiji hingga memahami struktur hubungan yang disebut dalam unen-unen “Manunggaling Kawula Gusti” tersebut. Struktur hubungannya sebagaimana hubungan yang saya kenali sebagai hubungan “inti-plasma yang dalam istilah Jawa dinyatakan sebagai hubungan “pancer-moncopat”. Bangun hubungan dimaksud mulai dari unsur terkecil (misalnya: atom) sampai yang besar tak terhingga (misalnya: alam semesta). Semua terbangun dalam hubungan yang harmonis “inti-plasma atau “pancer-moncopat’.

Konsep religi yang demikian kiranya tidak kita ketemukan dalam ajaran agama apapun. Dan juga tidak bisa kita ketemukan “pakem panembah (ritual sembah) kepada Tuhan oleh manusia, karena adanya pengertian dan kesadaran bahwa manusia adalah “derivasi” Tuhan. Yang dalam istilah Jawa dinyatakan: “Kawula iku rahsaning Gusti, Gusti rahsaning Kawula”. Oleh karena itu, ritual Jawa yang selama ini dianggap ritual sembah, ternyata merupakan “ritual Nyawiji” yang ditujukan kepada sesama “Kawula” atau “titah dumadi” ciptaan Tuhan. Ritual Nyawiji dimaksud sebagai upaya mewujudkan keharmonisan (keselarasan) dalam hidup bersama. Baik sesama umat manusia maupun sesama “titah dumadi yang diciptakan dan “dikodratkan untuk tinggal bersama-sama di alam semesta.

Dengan demikian, sangat gampang dimengerti adanya anggapan Jawa terhadap semua ‘titah dumadi’ sebagai saudara sebagaimana disebut dalam ‘Wejangan Paseksen”:
Yaiku wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi “warganing Pangeran Kang Sejati” kinen aneksekake marang sanak sedulur kita, yaiku: bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan sakabehing dumadi kang gumelar ing jagad.

Pada masyarakat Jawa yang basis budaya dan peradabannya pada ‘pertanian sawah’, maka simbul ‘pusat kehidupan bersama’ adalah ‘patirtan’ (sumber mata air). Maka ‘ritual kehidupan bersama’ selalu berpusat kepada ‘patirtan’. Pada patirtan-patirtan diselenggarakan ritual yang diantaranya memberikan sesaji. Juga diberi penanda ‘kesakralan’ berupa patung ‘lingga-yoni’. Dan, memang merupakan kekhasan Jawa yang selalu memberi patung lingga-yoni pada tempat-tempat yang diposisikan ‘sakral’ atau kuat ‘pancaran enerji kosmis bumi’-nya.

Oleh suatu proses sejarah terjadi ‘penyebaran’ agama Hindu dan Buda dari India. Kedua agama tersebut kemudian dipeluk para elit yang ada di Jawa. Maka ada ‘proses’ kooptasi terhadap ‘Sistim Religi Jawa’ yang asli oleh agama Hindu dan Buda. Tempat-tempat sakral yang semula bertanda ‘patung lingga-yoni’ atau bangunan berundak di-Hindu-kan dan di-Buda-kan. Diantaranya dengan cara memisahkan patung lingga dari yoni, atau dijadikan bagian dari kompleks percandian.

Sebuah sistim religi asli tidak mudah hilang atau lenyap. Maka meskipun orang Jawa sudah banyak menjadi pemeluk agama-agama dari luar, realitas yang ada berupa ‘ritual’ atas dasar ‘Nyawiji’ masih berjalan hingga saat ini meskipun sudah ada perubahan-perubahan. Diantaranya berupa ritual bersih desa, slametan kelahiran bayi, slametan pengantenan, dan slametan orang meninggal. Berbagai ‘ritual slametan’ tidak dikenal pada ajaran agama apapun. Maka meskipun banyak anggapan/penilaian bahwa ‘slametan’ merupakan perbuatan syirik atau bid’ah, orang Jawa masih ‘ngeyel’ menyelenggarakan. Nampaknya tidak takut ancaman ‘neraka’ dan lebih takut mendapat ‘aral hidup’ ketika tidak mau menjalankan ‘ritual slametan’. Demikian pula ritual ‘bersih desa’ yang bermetamorfosa menjadi tradisi ‘Sadranan’ dan ‘Apitan’, sampai saat ini diselenggarakan banyak desa. Bersih desa berubah menjadi ‘bersih kubur’, upacara slametan ‘digiring’ dari patirtan ke kuburan kemudian ke halaman masjid dan ujung-ujungnya ‘diarahkan’ untuk ditinggalkan karena dianggap ‘bertentangan’ dengan ajaran agama. Sebagian desa sudah meninggalkan ritual itu namun sebagian masih menyelenggarakan karena takut mendapat ‘walat’ dari yang ‘mbau reksa’ desa.

Sistim Religi Nyawiji menyatakan bahwa ‘penciptaan’ alam semesta dari ‘antiga’ (bebakalan) yang kemudian dijadikan tiga unsur oleh ‘Kang Murbeng Dumadi’, berupa: bumi lan langit (materi), cahya lan teja (cahaya terindera dan yang tidak terindera). Dan Manikmaya (Ruh alam semesta, Sejatining Urip). Ketiganya merupakan ‘pangejawantahan’ (emanasi, derivasi) dari Kang Murbeng Dumadi. Manikmaya dijelaskan terdiri dari Hyang Manik dan Hyang Maya. Hyang Manik simbul ‘pengendali’ alam semesta, sedang Hyang Maya sebagai ‘pamomong’ jagad. Kedua Hyang tersebut yang kemudian mengendalikan dinamika alam semesta. Yang dalam pewayangan disimbulkan sebagaimana peran Bethara Guru dan Semar.

Sistim Religi Nyawiji sebagaimana saya uraikan, kiranya tidak sama dengan Hinduisme atau Budaisme, tetapi juga bukan animisme. Bahkan sangat jelas ekspresi ber-Tuhan (kesadaran religius) meski dianggap bukan agama. Dengan demikian, diperlukan kajian mendalam tentang ‘sistim religi Jawa’ sebelum divonis sebagai animisme. Demikian pula perlu dikaji kembali tentang wacana memasukkan ‘sistim religi asli’ Jawa sebagai agama ‘Syiwa-Buda’ yang merupakan sinkretisme agama Hindu Syiwa dengan Buda. Panggraita saya, bahwa ‘sistim religi asli Jawa’ sedemikian rupa bisa ‘ngemot’ berbagai sistim religi sehingga dianggap sebagai ‘perpaduan’ agama Hindu Syiwa dengan agama Buda. Anggapan seperti itu, sangat jelas menggambarkan kalau orang Jawa (Nusantara) tak mengenal sistim religi sebelum mendapat sebaran agama Hindu dan Buda. Sementara bukti nyata di tengah masyarakat, setelah agama Hindu dan Buda surut dari bumi Jawa (Nusantara) tidak meninggalkan komunitas Hindu maupun Buda yang signifikan. Bahkan agama asli Bali yang semula bernama agama Tirta juga dinyatakan sebagai agama Hindu.

Kiranya banyak hal yang ‘bias’ terjadi dalam menilai sistim religi Jawa oleh para peneliti budaya, peradaban, maupun keagamaan. Bias-bias tersebut lebih banyak dikarenakan tidak tahu atau kesengajaan demi berbagai kepentingan, utamanya untuk ‘penjajahan’.
  


III. Sedulur Papat Kalima Pancer
Awal mula saya ‘tertarik’ dengan ‘falsafah Nyawiji’ karena sering mendapatkan piwulang dan pitutur untuk selalu memule (memuliakan) ‘sedulur papat kalima pancer’. Suatu istilah yang begitu rumit untuk saya pahami karena yang dimaksud ‘sedulur papat kalima pancer’ adalah ‘struktur ruh’ manusia. Pancer adalah ruh manusianya, sedulur papat adalah ruh dari ‘ketuban, placenta, darah, dan puser’. Dinyatakan pula bahwa ruh ‘ketuban-placenta-darah-puser’ merupakan ‘penghubung spiritual’ ruh manusia dengan ruh alam semesta yang diperlambangkan dengan unen-unen ‘jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe’.

Penajaman piwulang tersebut menyatakan bahwa jumbuhing (hubungan spiritual) dimaksud atas kendali ‘Kang Murbeng Dumadi’ yang kemudian diperlambangkan sebagai ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Maknanya, bahwa ‘Nyawiji semesta’ (Nyawiji jagad saisine termasuk manusia) dilingkupi dan di-‘purbawasesa’ oleh Kang Murbeng Dumadi (Tuhan).
Dalam banyak hal, sedulur papat kalima pancer ini maunya ‘diadobsi’ oleh beberapa ajaran agama. Tetapi tidak pernah ‘nyambung’ karena menjadi aneh. Dalam agama Hindu, sedulur papat maunya disamakan dengan 4 dewa penunggu ‘janin’ dalam kandungan. Dalam Islam sedulur papat ‘disamakan’ dengan 4 nafsu: Amarah, Luamah, Sufiah, Mutmainah. Bahkan di awal penyebaran Islam di Jawa ada upaya menyamakan 4 dewa dalam agama Hindu dengan 4 malaikat dalam khasanah Islam: Jibril, Mikhail, Israfil, dan Ijrail. Uniknya keempat nama malaikat tersebut ditulis dalam aksara Jawa nglegena sebagai: Jâbârâlâ, Mâkâhâlâ, Hâsârâpâlâ, dan Hâjârâlâ. Nama-nama malaikat Islam versi Jawa ini terdapat di ‘kepek pedalangan’ untuk ruwatan dan tertulis dalam aksara Kawi (Ngawi Gaib).

Dalam ajaran Jawa, yang disebut ‘sedulur papat kalima pancer’ itu sangat jelas dan membumi. Yang dimaksud adalah struktur roh manusia dan hubungannya dengan alam semesta. Ketika manusia (dan semua mahluk hidup) masih dalam kandungan atau berupa telur ‘dilengkapi’ sebentuk jaringan sel yang bersamaan terciptanya ketika terjadi ‘pembuahan’. Pada manusia atau binatang menyusui, jaringan sel itu berupa: air ketuban (kawah), placenta (ari-ari, aruman), darah dan tali pusat (puser). Semua jaringan sel itu berfungsi sebagai penghubung janin dengan alam semesta yang diwakili oleh ‘raga’ ibu/induk-nya. Ketika janin lahir menjadi bayi, tugas/fungsi fisik semua jaringan penyerta di rahim ibu/induk berakhir. Namun pada pandangan Jawa, yang berakhir itu Cuma bentuk fisik, sementara bentuk ‘ruh’ terus belanjut. Ruh-ruh jaringan penyerta terciptanya janin tersebut kemudian menyatu dan menjadi mancapat (plasma) bagi roh si mahluk yang sudah berpindah alam, dari kandungan ke bumi/alam semesta. Maka sebagaimana fungsinya dulu di dalam kandungan, maka ruh-ruh penyerta terciptanya tersebut juga menjadi penghubung ruh si mahluk dengan ruh alam semesta. Maka menjadi tidak mudah dipahami ketika ‘sedulur papat’ dimaksud disamakan sebagai ‘dewa’ (dalam hinduisme) atau malaikat (dalam teologi Timur Tengah). Lebih-lebih memposisikan bahwa ‘sedulur papat’ sebagai ‘utusan Tuhan’ atau disamakan dengan ‘empat nafsu’.

Barangkali yang mendekati makna ‘sedulur papat Jawa’ adalah ‘malaikat pribadi’ yang disebut novelis Paulo Coelho dalam beberapa cerita roman spiritualisnya….

Bersambung